![]() |
Foto:Mahkamah Agung (MA). Ist |
JAKARTA||KABARZINDO.com- Di tengah upaya bangsa memperkuat tata kelola pemerintahan, Mahkamah Agung (MA) menempati posisi yang tak tergantikan. Sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif tertinggi, MA menjadi simbol keadilan, penegak hukum, sekaligus penjaga moral publik. Ketika institusi lain tersandung, publik berharap MA menjadi pembenah. Namun, harapan ini terancam runtuh jika MA sendiri gagal membenahi dirinya.
Reformasi birokrasi telah diimplementasikan melalui program Zona Integritas (ZI), Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK), dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), yang berpedoman pada PermenPAN-RB No. 52 Tahun 2014. Meski 243 satuan kerja di lingkungan MA telah memperoleh predikat WBK sepanjang 2018–2024¹, kenyataan di lapangan tidak sepenuhnya sejalan. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi, 29 hakim ditangkap atas dugaan korupsi dalam kurun waktu yang sama²—beberapa di antaranya berasal dari unit kerja bersertifikasi. Fakta ini menimbulkan refleksi mendalam: apakah sertifikasi benar-benar mencerminkan transformasi budaya kerja, atau sekadar formalitas administratif?
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang religius, jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyangkut kesadaran etis dan spiritual. Ajaran Islam mengingatkan bahwa integritas bukan hanya soal aturan, tetapi tentang kesucian niat dan akhlak: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka." (QS. Ar-Ra’d: 11). Artinya, perubahan birokrasi tidak akan efektif jika tidak dimulai dari perubahan nilai dan moral dalam diri para pelakunya.
Tantangan reformasi bukan hanya terletak pada kebijakan, tetapi juga pada internalisasi nilai. Ketika proses sertifikasi dianggap sebagai beban tambahan, terutama di satuan kerja dengan beban perkara tinggi, semangat reformasi bisa kehilangan makna. Jika reformasi hanya berputar pada kelengkapan dokumen, maka yang tumbuh adalah birokrasi berformat—bukan birokrasi berjiwa. Di sinilah letak pentingnya kesadaran moral. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, rasa malu, dan kepedulian publik harus ditanamkan, bukan hanya diajarkan.
Menghapus program reformasi jelas bukan solusi. Sebaliknya, MA harus memperkuat pendekatannya. Seluruh elemen institusi harus bergerak bersama, karena reformasi tidak dapat dibebankan pada segelintir individu. Perubahan yang bersifat kosmetik tidak akan mampu membersihkan sistem yang sudah lama terjangkit penyakit korupsi. Butuh keberanian etis, keteladanan moral, dan konsistensi nilai.
Penerapan nilai-nilai BerAKHLAK—yang mencakup Berorientasi pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif—harus dijadikan laku harian, bukan sekadar materi pelatihan. Penerapan sistem penghargaan dan hukuman (reward and punishment) secara objektif adalah wujud etika keadilan. Pemerataan beban kerja pun perlu ditempuh untuk mencegah kelelahan institusional dan ketidakadilan struktural.
Namun yang paling esensial adalah penanaman budaya malu. Dalam Islam, rasa malu adalah bagian dari iman. Seorang hakim atau ASN yang merasa malu untuk menyalahgunakan wewenang sebenarnya sedang menjaga marwah keadilan. Sebaliknya, ketika rasa malu tak lagi menjadi benteng moral, korupsi akan menemukan jalannya meski ada puluhan instrumen pengawasan.
Mahkamah Agung harus kembali menjadi teladan moral bagi institusi lain. Bukan hanya lewat keputusan hukum, tetapi melalui integritas perilaku sehari-hari. Lembaga ini memiliki kesempatan langka untuk membuktikan bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan di ruang sidang, tetapi juga di ruang kebijakan, di hati para abdi negara yang menjunjung etika, akhlak, dan nurani.
Reformasi birokrasi di MA adalah amanah besar. Jika dijalankan dengan kejujuran, keteladanan, dan kesadaran moral yang utuh, niscaya kepercayaan publik akan tumbuh kembali. Dan itu bukan hanya keberhasilan birokrasi—tetapi keberhasilan bangsa dalam menjaga nurani keadilan.
Reporter:RS